SEPI DALAM KESUNYIAN

SIDA BLEBERAN 23 Mei 2020 22:06:07 WIB

 

_Sebuah Esai Oleh Mashudi_

Kembali kepada Gema Takbir berkumandang hingga memekik ke seantero petala-petala langit.
Syahdan tersebutlah pada lembaran-lembaran kuno bertuliskan _Arab Pegon_ mengenai kesibukan para makhluk di tingkatan-tingkatan langit hingga Sidratul Muntaha. Riuh rendah mengejawantah pada bulatan-bulatan kesucian dan kemurnian sebangsa Jin dan Manusia di muka bumi yang digariskan oleh-Nya sebagai tempat bercocok tanam pahala bagi umat bernama Khalifatullah Fil Ardh.
Bintang gemintang menyukuri Rahmad Illahiyyah, para Waliyullah komat-kamit berdendang puji-pujian. Sedang si Iblis yang sebagai seniornya Malaikat pada waktu itu bernama Kanzul Jannah _bersededih_ membahasakan nasib ke-irian atas Dramawan Agung Allah SWT menciptakan Adam AS dari berbagai macam unsur. Hingga para tokoh Supranatural pun benar-benar menghayati daya imajinasinya melalui tharekat unsur-unsur tersebut sebagai bahan media mengkapling-kapling percikan kecil dalam menghayati pusat inti ke-Nur Muhammadan.
Malaikat pun si Makhluk statis itu selalu mengamini segala gejala pada setiap ritual kaum muslimin dalam menghayati Idhul Fithri nan Agung itu.
Para tokoh kejawen, tidak lupa _Nggugah Jagat_ yang me-mikro kosmos dan makrokosmos.
Mempertemukan kembali inti hakekat keagungan pada jalan spirit Kanjeng Syeikh Siti Jenar, dan Al-Hallaj sudah sedemikian rupa _menempel_ mendahului kita sebagai penganut syari'at.
Kiranya masih ada ruang bagi kaum sunyi untuk menghayati alir darah dan detak jantung demi _mbabahi_ ke-Tauhidan-nya.
Dan para kaum sufi mentitik jenuhkan dunia dengan talak satu dengan ediom keantian _Hubbu Dunya_ yang selama ini di kirikan bagi kaum hedonis modern.
Tentunya masih ada satu sisi untuk menyatukannya sesuai peradaban baru dan paradigma modern dengan teori Tassawuf Modern-Nya Hamka.
Paling tidak si pengikut falsafah Sangkan Paraning Dumadi tidak jauh amat dengan apa yang dilakukan pada embrional seorang Adam AS. Yang dijadikan Tuhan sebagai penyempurna dari Insan, walaupun para cendekiawan menciptakan kembali teori baru dengan adanya Insan Kamil, dan orang modern juga menyelaraskan dengan membangkitkan jati diri pada faham _manusia seutuhnya._
Tentunya perbedaan itu tidak menjadi permasalahan yang rumit. Toh satu titik di puncak Fithri ada kandungan permaafan besar dan Ampunan Agung.
Kiranya menjadi tolok ukur bahwa perbedaan berprinsip pada acuan thariqah dan madzhab bahkan aliran-aliran, tidak menjadi masalah yang serius.
Kita memang dituntut untuk sama.
Dari jalan keluar yang sama.
Dan tujuan yang berfokus pada titik puncak balik atau mudik dalam wacana budaya.
Mudik yang berfilosofis Sangkan Paraning Dumadi serta mudik dalam nafas Islam berupa Innalilahi wa Inna ilaihirraji'un.


Salam lebaran.

_Menggoran, 2020_

Belum ada komentar atas artikel ini, silakan tuliskan dalam formulir berikut ini

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Kode Keamanan
Komentar